Air terjun Kabupaten Sanggau terletak ditengah – tengah Propinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah 12.857 Km atau 12.47% dari luas seluruh Propinsi Kalimantan Barat. Sehingga Kabupaten Sanggau memiliki banyak potensi wisata, terutama wisata alam dengan beragam tumbuhan, satwa liar dan jutaan rahasia lainnya.Salah satu tempat wisata alam yang menjadi kebanggaan Kabupaten Sanggau adalah kawasan wisata Panjur Aji. Terletak tidak jauh dari pusat kota Sanggau kawasan wisata Panjur Aji menawarkan wisata alam dengan kawasan hutan lindung yang banyak terdapat flora langka seperti Kayu Tengkawang, taman anggrek, Kebun binatang seperti orang utan, buaya, aneka burung termasuk burung enggang khas Kalimantan.Panjur Aji juga menawarkan wisata pesona air pegunungan seperti sungai Merobu, Engkuli, bayu, Kenian, Setapang, Mongan dan Sungai Mawang. Arus sungai yang cukup deras merupakan salah satu tantang yang menarik untuk dijelajahi.Objek wisata Pancur Aji terdapat beberpa lokasi wisata diantaranya keindahan alam, keaslian hutan yang menawarkan kesegaran alami.
Sejarah Kalimantan Barat
Rabu, 08 Desember 2010
Adat Duduk Tahun : Dayak Tayap Hulu – Ketapang Kalbar
Setelah dari mengunjungi masyarakat adat dayak pebantan atau dayak pangkalan suka, tanggal 3 Juni 2009 saya mengunjungi dayak Tayap Hulu, yaitu masyarakat dayak yang tinggal di dusun Sukamaju desa Pangkalan Suka Kecamatan Nanga Tayap Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Saat saya datang ada acara adat duduk tahum yaitu acara adat syukur atas panen yang diterima masyarakat. Rangkaian acaranya sangat panjang memerlukan waktu 3 hari 3 malam.
Pertama kali saya datang saya dibawa ke bagian dalam ruangan dan ditunjukan barang pusaka masyarakat dayak tayap hulu yang sangat mengejutkan bagi saya yaitu tanduk kerbau raksasa.
Lihat pada gambar di atas: di depan ibu paling belakang berbaju putih ada tanduk kerbau yang panjangnya hampir 1,5 meter. Tanduk itu sudah diwariskan sejak nenek moyang masyarakat adat dayak tayap hulu. Saya langsung bertanya kepada pak Solpinus, demong adat dayak tayap hulu, “Pak, kalau tanduknya sebesar itu, lalu kerbaunya sebesar apa?”, dan Pak Solpinus menjawab “Saya belum pernah lihat Mas”.
Setiap acara adat di dayak tayap hulu ini pasti ada acara bergendang yaitu acar tari-tarian diiringi musik tradisional seperti gamelan di jawa dan Tifa. Ini yang menarik lagi, tifa di sini terbuat dari kulit monyet, dan ekornya juga masih dibiarkan jadi satu dengn tifa tersebut. Bisa lihat pada gambar di bawah ini :
Sebelum bergendang biasanya ada seekor ayam yang disembelih dan darah ayam tersebut di tumpahkan ke seperangkat alat musik bergendang ini. Sebelum terkena darah ayam, alat musik ini tidak boleh ditabuh. Gambar di bawah ini menunjukkan prosesi tersebut :
Dalam permulaan acara ini biasanya diadakan semacam ritual tolak bala, biasanya tokoh masyarakat atau tetua adat diberi ikat pada lengannya yang terbuat dari tali dan ada daun dilipat dalam bentuk gelang. Gelang ini dipasangkan oleh dukun adat kepada tokoh masyarakat dan tetua adat, sebelum gelang dipasangkan terlebih dahulu kedua tangan yang akan dipasangi gelang dibasahi dengan darah ayam dan arak, gelang dipasang, lalu orang yang dipasangi gelang tersebut diminta untuk menggigit besi, tanda bahwa sudah diberi tolak bala.
Saya termasuk orang yang diberi kesempatan untuk dipakaikan gelang tersebut seperti di bawah ini.
Kebudayaan Kalimantan Barat
Tari Jepin
Tari Jepin merupakan salah satu tari tradisional Kalimantan Baratyang berasal dari Arab. Di Kalimantan Barat terdapat berbagai macam jenis tari Jepin, contohnya Jepin Tembung (tiang), Jepin Kerangkang (jala ikan), Jepin Payung, dan Jepin Selendang. Tari Jepin ini dinamakan sesuai dengan perlengkapan tari yang digunakan.
Alat musik pengiring tari Jepin yaitu seperti gambus, rebana, rithem, dan tamborin. Gerakan tari Jepin banyak bertumpu pada variasi loncatan gerakan kaki. Zaman dahulu, tari tradisional Kalimantan Barat ini sering dipertontonkan di depan raja-raja, namun pada zaman sekarang tari Jepin ditampilkan untuk menyambut tamu dari luar dan lain-lainnya.
Alat Musik Sampek
Suku Dayak Kayaan yang berada di Kalimantan Barat memiliki seni musik yang unik. Suku ini memiliki alat musik yang dinamakan sampek atau masyarakat Kayaan menyebutnya sape’ kayaan. Sape’ adalah musik petik. Alat musik sape’ yang dimiliki oleh Dayak Kayaan bentuknya berbadan lebar, bertangkai kecil, panjangnya sekitar satu meter, memiliki dua senar/tali dari bahan plastik. Sape [...]
Kain tenun Sambas adalah salah satu kain tradisional dan khas tenun melayu di Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas adalah daerah asal penghasil kain Sambas. Kain tenun sambas terkenal karena mempunyai motif khas, seperti lunggi pucuk rebung, dagin serong, dagin biasa dan cual padang terbakar.
Kain Tenun Sambas
Kain tenun Sambas adalah salah satu kain tradisional dan khas tenun melayu di Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas adalah daerah asal penghasil kain Sambas. Kain tenun sambas terkenal karena mempunyai motif khas, seperti lunggi pucuk rebung, dagin serong, dagin biasa dan cual padang terbakar.
Upacara Adat Dayak
Orang Dayak memiliki kepercayaan bahwa orang yang sudah mati jiwanya harus pergi agar tidak mengganggu orang-orang yang masih hidup. Maka dari itu orang Dayak melakukan suatu upacara adat/tradisional kematian untuk memastikan jiwa yang mati tersebut dapat pergi mencapai tujuannya. Selain itu, upacara ini dilaksanakan agar keseimbangan alam yang terganggu oleh kematian dapat pulih kembali.
Rumah Betang
Rumah Betang adalah rumah adat/tradisional khas Kalimantan Barat yang terdapat di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak. Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter.
Patung Kayu Suku Dayak
Masyarakat Dayak terutama dalam Suku Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat, mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit. Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat [...]
Upacara Adat Naik Dango
Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan [...]
Mandau-Senjata tradisional Kal-Bar
Senjata tradisional Kalimantan Barat adalah Mandau. Mandau merupakan senjata tajam sejenis parang yang dahulu digunakan sebagai alat perang oleh masyarakat suku Dayak. Mandau memiliki ciri khas tersendiri yaitu terdapat bentuk ukiran-ukiran pada bagian bilahnya yang tidak tajam, ada juga Mandau yang bilahnya terdapat lubang-lubang yang ditutup dengan kuningan atau tembaga sehingga memperindah tampilan Mandau.
Sejarah Kota Singkawang
Penamaan kota ini muncul dalam beberapa versi menurut bahasa, dalam versi Melayu dikatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman Tengkawang yang terdapat diwilayah hutan tropis. Menurut versi bahasa Cina, Singkawang berasal dari kosa kata San Kew Jong yang secara harfiah berarti Gunung Mulut Lautan, maksudnya suatu tempat yang terletak dikaki gunung menghadap ke laut.
Dari beberapa catatan sejarah Singkawang mulai dikenal oleh orang Eropa sejak tahun 1834 yang tercantum dalam buku tulisan George Windsor Earl berjudul The Eastern Seas yang menyebut nama kota ini dengan kata ?SINKAWAN?. Pada masa itu Singkawang lebih dikenal sebagai daerah koloni Cina dimasa kongsi-kongsi penambang emas berkuasa dengan Monterado sebagai pusat kekuasaan para penambang tersebut (dalam tulisan sejarah tersebut nama seseorang bernama Kung She yang dipercaya memiliki pengaruh).
Catatan lainnya juga didapat dari salah satu tulisan G.F De Bruijn yang termuat dalam De Volken Van Nederlandsch Indie (1920) berjudul ?De Maleiers? yang terjemahannya berbunyi : .beberapa puluh mil disebelah selatan kerajaan (Sambas,pen) dibangun sebuah kota yang dimaksud sebagai kota pemerintahan (Belanda)
Singkawang Bagian dari Sebuah Kerajaan
Seiring kekuasaan yang masih dipegang penuh oleh Kerajaan Sambas, Belanda juga mulai melirik daerah-daerah diluar Jawa termasuk Singkawang, maka pada tahun 1891 segera dibuka jalur pelayaran pantai terutama yagn berdekatan dengan Singapura yang ketika itu merupakan poort (gerbang) keluar masuknya kapal-kapal terutama setelah dibukanya teruzan Suez dan di Sinkawang dibangun pelabuhan lengkap dengan cabang (agent) KPM (Konijnlijk Peketvaart Maatschappij), demikian pula pendukung modal asing (Belanda) yang diberikan kesempatan beroperasi, yakni Perusahaan Listrik ANIEM (Algemene Nederlands Indiesche Elecktriesche Maatschaappij). Belanda juga membangun jalan-jalan darat ditahun 1912, meliputi jalur Pemangkat, Singkawang, Bengkayang yang dikenal dengan Pendareng.
Sebuah peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang termuat dalam Staatsblad tahun 1938 nomor 352 yang dekeluarkan oleh Gubernur Jendral Hidia Belanda yang mengatur bahwa Borneo ditetapkan sebagai wilayah administratif dengan ibukota terletak di Banjarmasin. Wilayah administratif Borneo (Kalimantan) ini dibagi dalam dua keresidenan yaitu Kersidenan Borneo bagian Selatan dan Timur. Residensi Kalimantan bagian Barat dengan Ibukota Pontianak.
Beberapa catatan sejarah mengenai perjuangan masyarakat Singkawang pada masa ini antara lain :
- Pernah menjadi pos terdepan dalam melawan gerakan PGRS / Paraku
- Exspansi ke Malaysia
- Perlawanan terhadap G.30.S/PKI
Seni Tradisional Dayak
Sejarah
Asal Usul
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.
Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.
Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.
Pembagian Ciri Tari Dayak
Berdasarkan wilayah penyebaran di Kalimantan Barat
Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni:- Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
- Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
- Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
- Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
- Kayaanik, punan, bukat dll.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kal-teng), Leboyan.
Latar belakang Tari Ajat Temuai Datai
Latar belakang
"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karna terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya adalah Tari menyambut tamu, bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan / masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak. Mengayau, berasal dari kata me – ngayau, yang berarti musuh (bahasa Dayak Iban). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan menang dan membawa bukti perang berupa kepala manusia, merupakan tamu yang agung serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi si empunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974), ada empat tujuan dalam mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak Mualang disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih !, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan. Proses penyambutan ini, melalui tiga babak yakni: Ngiring Temuai (mengiringi tamu ataupun memandu tamu) sampai kedepan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan tari Ajat (penyambutan). Kemudian kepala suku mengunsai beras kuning (menghamburkan beras yang dicampur kunir / beras kuning) dan membacakan pesan atau mantera sebagai syarat mengundang Senggalang burong (burung keramat / burung petuah penyampai pesan kepada Petara atau Tuhannya). Babak yang kedua yakni mancung buloh (menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu), berarti bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjai dan para tamu harus menebaskan mandaunya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu. Babak yang ketiga adalah Nijak batu (menginjakkan tumitnya menyentuh sebuah batu yang direndam didalam air yang telah dipersiapkan), sebagai simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu itu sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut. Babak keempat yakni Tama’ Bilik (memasuki rumah panjai), setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang / mengusir roh jahat).Adat Buka Tanah : Dayak Kayong Sungai Laur – Ketapang Kalbar
Sungai Laur terletak di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Kecamatan ini terdiri dari bebarapa desa yang mayoritas dihuni oleh suku dayak Kayong. Saat saya sampai di desa Semapo Kecamatan Sungai Laur sedang ada acara adat buka tanah, yaitu acara adat untuk mengawali suatu kegiatan penggalian tanah atau penebangan pohon.
Dayak Kayong yang menjadi mayoritas masyarakat di Kecamatan Sungai Laur masih memegang teguh tradisi peninggalan leluhur mereka. Adat-istiadat dari acara orang menikah, melahirkan, meninggal, menanam dan memanen padi, atau membuka lahan pasti didahului dengan acara adat untuk memohon keselamatan dan berkah dari alam dan Tuhan. Agama Katholik masih menjadi mayoritas agama yang dianut oleh masyarakat Dayak Kayong, jadi peran tokoh agama terutama Pastor di daerah sini masih sangat signifikan.
Acara adat buka tanah biasanya dimulai dengan pemotongan ayam dan penyiapan sesaji berupa beras dan sesaji lain. Setelah dibacakan doa-doa oleh tokoh adat selanjutnya ayam dipotong. Darah dari ayam tersebut ditempatkan dalam suatu tempat kemudian dicampur dengan beberapa bulu ayam.
Setelah itu baru diadakan acara bergendang, atau nyayian-nyanyian warga dayak kayong. Tentu saja dalam acara ada pembagian arak dan tuak dan saya tidak mau melewatkan acara ini. Tuak merah, yaitu minuman mengandung alkhohol hasil ferementasi ketan hitam, rasanya sangat enak dan membuat tubuh hangat. Mabuk tuak lebih lama daripada mabuk arak. Tuak lebih manis daripada arak. Bagi para drunken master ditanggung betah dan ketagihan menikmati tuak merah khas dayak ini.
Saya sempat mampir di rumah untuk menyimpan padi. Saya tidak tahu bagaimana warga dayak kayong menyebut bangunan ini, kalau warga dayak kanayatn / dayak ahe menyebutnya dengan dangau. Bangunan ini unik, mirip rumah adat dayak pada umumnya, cuma atapnya sudah memakai seng, bukan dari sirap. Tapi struktur dan motifnya masih jelas menunjukkan ciri khas bangunan dayak.
Banyak bangunan dengan ciri khas adat dayak ada di kalimantan ini. Beberapa mulai rusak karena sudah tua, ada juga yang baru tetapi sudang mulai menggunakan bahan-bahan modern. Bangunan dalam gambar tersebut setengah-setengah. Atapnya sudah menggunakan seng, tetapi tangganya masih menggunakan tangga dari batang ulin. Tangga ini adalah tangga khas rumah adat suku Dayak. Pelestarian rumah dan bangunan suku dayak harus ditingkatkan sebagai budaya Indonesia yang mempunyai nilai khusus.
Investor-investor yang tidak bertanggungjawab mulai masuk ke dalam tanah orang dayak. Kadang mereka hanya mengambil kekayaan alam masyarakat dayak dan melupakan kewajiban mereka selaku investor seperti melakukan program corporate social responsibility yang berkelanjutan (sustainable CSR). Contoh lain hanya mengambil mineral sebagai bahan galian tambang tanpa melakukan revegetasi dan reklamasi. Perusahaan-perusahaan ini harus diberi sanksi secara tegas karena yang mereka lakukan sebenarnya adalah menghancurkan lingkungan dan ekologinya termasuk manusia dan peradabannya.
Hutan, tanah dan air adalah identitas utama bagi masyarakat dayak. Hutan harus diselamatkan supaya air tetap terjaga. Tanah harus tetap dijaga jangan sampai diekspansi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, karena pindahnya kepemilikan tanah akan mengancam hutan yang berada di atas tanah tersebut. Ketika identitas masyarakat dayak mulai tergerus maka budayanya pun akan luntur, relakah kita? Tentu tidak!
Upacara Adat Naik Dango Kalimantan Barat
Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan
Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan
Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.
Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
Asal Mula Naik Dango
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan
manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :
1. Sebelum hari pelaksanaan
Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahathn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata.
2. Saat hari pelaksanaan
Pada hari pelaksanaan dilakukan 3 kali nyangahathn :
• pertama di Sami, bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat.
• kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi.
• ketiga di Pandarengan, tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.
Naik Dango merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kendayan yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun. Dalam Upacara Adat Naik Dango, selain acara inti yakni “nyangahathn”.
Upacara Adat Naik Dango intinya hanya berlangsung satu hari saja tetapi karena juga menampilkan berbagai bentuk budaya tradisional di antaranya berbagai upacara adat, permainan tradisional dan berbagai bentuk kerajinan tangan yang juga bernuansa tradisional, sehingga acara ini berlangsung selama tujuh hari. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Upacara Adat Naik Dango ini, menjadikannya sebagai even yang eksotis ditengah-tengah kesibukan masyarakat Dayak.
Upacara Adat Naik Dango merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (SEKBERKESDA) pada tahun 1986.3 perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat ucapan syukur kepada Jubata yang dilaksanakan Masyarakat Dayak Kendayan di Menyuke setiap tahun setelah masa panen padi usai.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan Upacara Adat pasca panen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketemanggungan. Inti dari upacara ini adalah nyangahathn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi cucur), bontonkng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.
Asal Mula Naik Dango
Naik Dango didasari mitos asal mula padi menjadi popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena tidak sunat. Cerita itu dimulai dari cerita asal mula padi berasal dari setangkai padi milik Jubata di Gunung Bawang yang dicuri seekor burung pipit dan padi itu jatuh ke tangan Ne Jaek (Nenek Jaek) yang sedang mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput (padi) milik Jubata, dan bukan kepala yang dia bawa menyebabkan ia diejek. Dan keinginannya untuk membudidayakan padi yang setangkai itu menyebabkan pertentangan di antara mereka sehingga ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan Jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata adalah Ne Baruankng Kulup. Ne Baruankng Kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada “talino” (manusia), lantaran dia senang turun ke dunia manusia untuk bermain “Gasing”. Perbuatannya ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawang dan akhirnya kawin dengan manusia. Ne Baruankng Kulup lah yang memperkenalkan padi atau beras untuk menjadi makanan sumber kehidupan manusia, sebagai penganti “kulat” (jamur, makanan manusia sebelum mengenal padi), bagi manusia. Namun untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan
manusia dan jubata yang menunjukan kebaikan hati Jubata bagimanusia.
Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kendayan antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara Adat naik Dango ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pameran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Naik Dango lebih menonjol sebagai pesta dari pada upacara ritual. Namun dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
Langganan:
Postingan (Atom)